Monday 8 November 2010

DUNIA PENDIDIKAN DI INDONESIA

E-LEARNING SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN PENDIDIKAN INDONESIA
IT atau Information Technology memberikan kontribusi yang luar biasa dalam hal penyebaran materi Informasi ke seluruh belahan dunia. IT merupakan suatu alat Globalisator yang luar biasa – salah satu instrumen vital untuk memicu time-space compression (menyusutnya ruang dan waktu), karena kontaknya yang tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massal dan melibatkan ribuan orang. Hanya dengan berada di depan komputer yang terhubung dengan internet, seseorang bisa terhubung ke dunia virtual global untuk ‘bermain’ informasi dengan ribuan komputer penyedia informasi yang dibutuhkan, yang juga terhubung ke internet pada saat itu.
Perkembangan teknologi informasi (TI) yang sedemikian pesat tersebut menciptakan kultur baru bagi semua orang di seluruh dunia. Dunia pendidikan pun tak luput dari sentuhannya. Integrasi teknologi informasi ke dalam duina pendidikan telah menciptakan pengaruh besar. Dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi, mutu dan efisiensi pendidikan dapat ditingkatkan.
Di tengah kemelut dunia pendidikan Indonesia yang tak kunjung selesai, kehadiran teknologi informasi menjadi satu titik cerah yang diharapkan mampu memberi sumbangan berarti dalam meningkatkan mutu pendidikan. saat ini mutu pendidikan Indonesia masih sangat rendah. Laporan tahunan Human development Index UNDP tahun 2004 menempatkan Indonesia pada posisi 111 dari 175 negara. Adapun hasil survai tentang kualitas pendidikan di Asia yang dilakukan oleh PERC (The Political and Economic Risk Country), Indonesia berada pada posisi 12 atau yang terendah (Suara karya, 18 desember 2004). Peringkat ini sepertinya tidak mengalami pergeseran jauh pada saat sekarang ini mengingat problematika pendidikan yang masih saja belum berubah.
Salah satu produk integrasi teknologi informasi ke dalam dunia pendidikan adalah e-learning atau elektronik learning. Saat ini e-Learning mulai mengambil perhatian banyak pihak, baik dari kalangan akademik, profesional, perusahaan maupun industri. Di institusi pendidikan tinggi misalnya, e-Learning telah membuka cakrawala baru dalam proses belajar mengajar. Sedangkan di lingkungan industri, e-Learning dinilai mampu membantu proses dalam meningkatkan kompetensi pegawai atau sumber daya manusia. Dari dunia akademis metode pembelajaran ini sudah mulai banyak diterapkan dan dikembangkan. Ambil contoh penerapan e-Learning di kampus ITB, IPB, UI, Unpad, Universitas Hasanuddin, Universitas Negeri Malang, dan universitas lainnya baik negeri maupun swasta, seperti Universitas Bina Nusantara (Ubinus) Jakarta.
E-learning pada hakikatnya adalah bentuk pembelajaran konvensional yang dituang dalam format digital dan disajikan melalui teknologi informasi. Secara ringkas, Anwas (2005) menyatakan e-larning perlu diciptakan seolah-olah peserta didik belajar secara konvensional, hanya saja dipindahkan ke dalam system digital melalui internet. Keunggulan-keunggulan e-learning yang paling menonjol adalah efisiensinya dalam penggunaan waktu dan ruang. Seperti telah disebutkan di atas, pendidikan berbasis teknologi informasi cenderung tidak lagi tergantung pada ruang dan waktu. Tak ada halangan berarti untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar lintas daerah, bahkan lintas negara melalui e-learning. Dengan e-learning pengajar dan siswa tidak lagi selalu harus bertatap muka dalam ruang kelas pada waktu bersamaan.
Dengan sifatnya yang tidak tergantung pada ruang dan waktu, e-learning memiliki keunggulan lain yakni memungkinkan akses ke pakar yang tak terhalang waktu dan tak tidak memerlukan biaya mahal. Seorang pelajar di daerah dapat belajar langsung dari pakar di pusat melalui fasilitas internet chatting atau mengakomodir suara dan bahkan gambar realtime. Dengan e-learning, sekolah-sekloah dengan mudah dapat melakukan kerjasama saling menguntungkan melalui program kemitraan. Dengan demikian sekolah yang lebih maju dapat membantu sekolah yang belum maju sehingga dapat diupayakan adanya pemerataan mutu pendidikan. Satu lagi keunggulan e-learning tentunya adalah ketesediaan informasi yang melimpah dari sumber-sumber di seluruh dunia. Dengan menggunakan internet sebagi media pembelajaran akan didapatkan sumber informasi untuk pengayaan materi yang jumlahnya sangat tak terbatas.
Model pembelajaran e-learning – dengan segala keunggulan di atas—akan sangat membantu dunia pendidikan Indonesia. e-learning dapat menjadi alternatif cara peningkatan mutu pendidikan Indonesia dan melakukan upaya pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. sudah menjadi pengetahuan umum bahwa penyebaran mutu pendidikian di Indonesia belum merata. Ada kesenjangan cukup jauh antara satu wilayah dengan wilayah lain. Pendidikan di pulau jawa dan Sumatera (Indonesia bagian barat) cederung lebh maju dari Indonesia bagian timur. Kesenjangan seperti ini haruslah mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. E-learning dapat menjadi solusi kreatif bagi pemerintah.
Karena masih diperlukannya pengembangan, maka masih diperlukan fokus perhatian akan e-Learning ini. Khusus dari sisi regulasi, perlu diamati sudah seberapa jauh peranan regulasi dari pemerintah atau departemen terkait dalam mendukung terealisasinya dukungan e-Learning dalam proses pendidikan di Tanah Air. Hingga saat ini Inedonesia sudah memiliki Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ. Di mana secara lebih spesifik UU ini mengizinkan penyelenggara pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara PTJJ dengan memanfaatkan teknologi informasi.
Regulasi ini diperlukan untuk melindungi minat belajar masyarakat dari malpraktik penyelenggaraan pendidikan. Selain itu juga menyiapkan rambu-rambu dalam pengembangan e-Learning sepatutnya, dan tidak hanya untuk melindungi dari malpraktik tapi juga untuk mengantisipasi tantangan masa depan e-Learning.
Undang-undang yang mengakomodasi e-Learning itu di antaranya UU nomor 20 tahun 2003 tentang pendidikan. Namun demikian tidak menutup kemungkinan pengaturan pemerintah lebih lanjut untuk mandapatkan jaminan kualitas dalam e-Learning, termasuk di dalamnya sistem akreditasi dan asesmen yang efektif.
Sementara pemerintah akan mengeluarkan kebijakan mengenai e-Learning untuk memenuhi target 26 juta tenaga ahli di bidang TI tahun ini. Untuk sementara ketersediaannya diprediksi baru sekitar 10 juta orang. Pemerintah juga mencatat dari sisi kesiapan infrastruktur TI seperti komputer, posisi Indonesia masih sangat rendah, yaitu di peringkat 59 dari sejumlah 64 negara yang tercatat dalam Economist Intelligence. Kebijakan e-Learning tersebut akan terangkum dalam Cetak Biru Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Tatanan Sistem Pendidikan Dasar dan Menengah
Mengambil pelajaran dari negara lain seperti Taiwan, lembaga-lembaga tinggi negara mereka telah memberikan dukungan yang cukup besar dalam e-Learning. Hal tersebut dibuktikan dengan keberadaan The Office of e-Learning National Project dan Association of E-Learning. Salah satu permasalahan yang dihadapi institusi akademis di negara berkembang, khususnya negara yang memiliki jumlah populasi yang besar, area geografis yang luas, juga multietnis adalah ketidakseimbangan dalam menangani kegiatan akademik. Konsekuensi logisnya adalah ketidakseimbangan kualitas akademik dan selanjutnya akan mempengaruhi daya saing bangsa di era global.
Urgensi penerapan e-learning di Indonesia juga terkait dengan keterbatasan akses pendidikan berkualitas dari sisi jumlah institusi pendidikan dan jumlah siswa, kecenderungan makin meningkatnya pengguna internet, kendala geografis, juga aspek long-life learning opportunity.
Tujuan umum pembelajaran jarak jauh menggunakan e-Learning di Indonesia adalah agar tersedia akses belajar dan perbaikan kesamaan kesempatan belajar pada semua pembelajar. Selain itu juga untuk memperkuat dan memperdalam pengertian terhadap ilmu pengetahuan, memperluas cakrawala dan memperkaya keberagaman subjek pengetahuan, dan memperbaiki efektivitas proses belajar.
Sebuah studi yang dilakukan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Diten Dikti ) RI (2003) menunjukkan bahwa sub sektor pendidikan tinggi terdiri dari 82 perguruan tinggi negeri (PTN) dan lebih dari 2.236 perguruan tinggi swasta (PTS). PTN menampung 1 juta mahasiswa dan sekitar 2 juta mahasiswa berada di PTS. Bagian yang lebih kecil dari populasi mahasiswa, sekitar 200.000 mahasiswa berada di perguruan tinggi agama dan institusi pendidikan professional. Tingkat partisipasi di pendidikan tinggi masih rendah (sekitar 12,8 %) dibandingkan dengan negara berkembang lainnya di lingkup regional, seperti Filipina (32%) dan Thailand (30%).
Kendala-kendala
Manfaat IT di bidang pendidikan memang menggiurkan bagi kaum akademisi yang haus akan informasi, juga bagi mereka yang hendak memobilisasi bangsa Indonesia agar lebih maju lagi dalam bidang ini. Namun ada beberapa kendala di Indonesia yang menyebabkan IT dan Internet belum dapat digunakan seoptimal mungkin. Pemerintah memang masih perlu mempersiapkan banyak hal untuk ini.
Salah satu kendala utamanya : kurangnya ketersediaan sumber daya manusia untuk melakukan proses transformasi teknologi, dan menyediakan infrastruktur telekomunikasi beserta perangkat hukumnya yang mengaturnya. Dalam hal perangkat hukumnya, yang menjadi pertanyaan dilematis adalah, “apakah infrastruktur hukum yang melandasi operasional pendidikan di Indonesia cukup memadai untuk menampung perkembangan baru berupa penerapan IT untuk pendidikan gaya baru ini?”, Sedangkan Cyberlaw yang menjadi senjata untuk menjerat pelaku kriminalitas di dunia maya tidak terdengar “kabarnya”.
Selain itu masih terdapat kekurangan pada hal pengadaan infrastruktur teknologi telekomunikasi, multimedia dan informasi yang merupakan prasyarat terselenggaranya IT untuk pendidikan sementara penetrasi komputer (PC) di Indonesia masih rendah. Biaya penggunaan jasa telekomunikasi juga masih mahal bahkan jaringan telepon masih belum tersedia di berbagai tempat di Indonesia. Untuk itu perlu dipikirkan akses ke Internet tanpa melalui komputer pribadi di rumah. Sementara itu tempat akses Internet dapat diperlebar jangkauannya melalui fasilitas di kampus, sekolah, bahkan melalui warung Internet. Hal ini tentunya diperhadapkan kembali kepada kesiapan pihak pemerintah maupun pihak swasta; Yang pada akhirnya pemerintahlah yang memegang kunci keberhasilan penerapannya. Sebab pemerintah merupakan pihak yang dapat menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif bagi investasi swasta di bidang pendidikan. Namun sementara pemerintah sendiri masih demikian pelit untuk mengalokasikan dana untuk kebutuhan pendidikan. Saat ini baru Institut-institut pendidikan unggulan yang memiliki fasilitas untuk mengakses jaringan IT yang memadai. Padahal masih banyak institut-institut pendidikan lainnya yang belum diperlengkapi dengan fasilitas IT.

Harapan kita bersama hal ini dapat diatasi sejalan dengan perkembangan telekomunikasi yang semakin canggih dan semakin murah.

Sistem Pendidikan di Indonesia dalam Kacamata “Pendidikan Kritis”
Dalam kalimat “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,……..” (Pembukaan UUD 1945 Alinea IV)
Berdasarkan kutipan di atas, salah satu tujuan Negara Republik Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Founding People[1] telah merumuskan tujuan negara tersebut bersama dengan konstitusi tertulis Indonesia. Menurut tujuan negara tersebut jelas terlihat bahwa pendiri bangsa memiliki komitmen yang kuat dalam bidang pendidikan. Tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan aspek penting untuk meciptakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas serta berkontribusi bagi pembangunan negara.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari rumusan ini dapat disimpulkan bahwa pendidikan memiliki peranan yang penting sehingga diperlukan adanya sistem yang dapat mengakomodir fungsi dan tujuan agar tercipta sinergitas antara fungsi dan tujuan tersebut.
Realita pendidikan di Indonesia saat ini menunjukkan adanya proses pembaharuan sistem secara berkelanjutan. Mulai dari standardisasi nilai Ujian Akhir Nasional hingga kebijakan penerapan otonomi kampus di Perguruan Tinggi dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Semua sistem yang hari ini berusaha diterapkan pada dunia pendidikan di Indonesia menimbulkan berbagai fenomena unik, mulai dari penolakan keras hingga kritik terhadap sistem tersebut.
Dr.dr.B.M Wara Kushartanti (pemerhati pendidikan.red), mengungkapkan bahwa sistem pendidikan Indonesia tidak membuat siswa kreatif karena hanya terfokus pada proses logika, kata-kata, matematika, dan urutan dominan. Akibatnya perkembangan otak siswa tidak maksimal dan miskin ide baru.[2] Pernyataan tersebut mungkin ada benarnya jika dikaitkan dengan proses pendidikan hari ini. Value Oriented yang dimaknai sebagai hasil akhir, bukan dari proses yang dilakukan, terkadang menjerumuskan paradigma pendidikan. Sehingga tak aneh ketika seorang sarjana dengan IPK Cum Laude tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan di bangku perkuliahan. Orientasi pada nilai cenderung mengesampingkan proses kreatifitas yang justru dibutuhkan ketika “terjun” di masyarakat.
Dalam pandangan kritis, tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap sistem dan “ideologi dominan” yang tengah berlaku di masyarakat, menantang sistem yang tidak adil serta memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adil. Dengan kata lain, tugas utama pendidikan adalah “memanusiakan” kembali manusia yang mengalami “dehumanisasi” karena sistem dan struktur yang tidak adil.[3] Konsep yang coba untuk dituangkan oleh Paulo Freire, seorang pemikir berkebangsaan Brazil adalah “proses pendidikan Sosial”. Dalam hal ini, sistem pendidikan menempatkan pelajar sebagai subjek bukan objek. Sedangkan realita sosial yang terjadi di sekitar dijadikan sebagai materi pembelajaran. Proses ini mengantarkan terwujudnya dialektika dan kesadaran kritis dari tiap individu.
Terkait dengan sistem pendidikan di Indonesia yang masih berorientasi pada nilai akhir, maka konsep “pendidikan kritis” oleh Paulo Freire ini dapat merubah paradigma pendidikan tersebut. Perubahan paradigma pendidikan yang berorientasi pada nilai agaknya perlu diikuti dengan perubahan sistem yang lebih “humanis” dan berkeadilan karena mengingat kembali bahwa tujuan yang diemban negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yang berlandaskan pancasila. Pada akhirnya, pendidikan tak hanya dimaknai sekedar ajang mencari nilai bagus dan ijazah sebagai bentuk legitimasi. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah suatu proses untuk memanusiakan manusia dan membentuk manusia yang beradab dan berkontribusi bagi peradaban bangsa.

Paradigma Pendidikan Nasional
Pendidikan Indonesia adalah pendidikan yang sekular-materialistik. Hal ini terlihat pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab VI tentang Jalur, Jenjang, dan Jenis Pendidikan bagian kesatu (Umum) pasal 15 yang berbunyi: Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Terlihat jelas dalam pasal ini adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan umum.
Ada indikasi kuat bahwa pengembangan ilmu pengatahuan dan sains teknologi yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional tidak memiliki hubungan yang kuat dengan pembentukan karakter peserta didik. Padahal, pembentukan karakter merupakan bagian penting dari proses pendidikan. Agama yang menjadi faktor penting dalam pembentukan karakter peserta didik hanya ditempatkan pada posisi yang sangat minimal, dan tidak menjadi landasan dari seluruh aspek.
Minimalnya peran agama, tampak jelas pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab X tentang Kurikulum pasal 37 ayat (1) kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat 10 bidang mata pelajaran, dimana disana terlihat bahwa pendidikan agama tidak menjadi landasan bagi bidang pelajaran lainnya.
Hal ini berdampak pada tidak terwujudnya tujuan pendidikan nasional sendiri, yaitu mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri, masyarakat, bangsa dan negara.
Paradigma pendidikan sekular melahirkan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Kondisi kualitas sumber daya manusia yang rendah ini memperburuk kehidupan bermasyarakat. Memang dengan pendidikan sekarang masih bisa melahirkan generasi yang ahli dalam pengetahuan sains dan teknologi, namun ini bukan merupakan prestasi, karena pendidikan seharusnya menghasilkan generasi dengan kepribadian yang unggul dan sekaligus menguasai ilmu pengetahuan. Buruknya kondisi kehidupan masyarakat akibat rendahnya kualitas sumber daya manusia tampak pada masih banyaknya kasus tawuran, seks bebas, narkoba dan perilaku jahat lainnya yang dilakukan para peserta didik di negeri ini.

Standar Kelulusan
Dalam UU Sisdiknas Bab V tentang Standar Kompetensi Lulusan pasal 25 disebutkan: (1) Standar kompetensi lulusan digunakan sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan. (2) Standar kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kompetensi untuk seluruh mata pelajaran atau kelompok mata pelajaran dan mata kuliah atau kelompok mata kuliah. (3) Kompetensi lulusan untuk mata pelajaran bahasa menekankan pada kemampuan membaca dan menulis yang sesuai dengan jenjang pendidikan. (4) Kompetensi lulusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Dari pasal tersebut diketahui bahwa kompetensi kelulusan harus mencakup sikap (afektif), pengetahuan (kognitif) dan ketermpilan (psikomotorik). Standar kompetensi ini harus menjadi acuan pada pemerintah dalam menetapkan standar kelulusan. Namun, terjadinya kontradiktif antara ketetapan dengan pelaksanaan di lapangan.
Kontradiktif ini terlihat dari kebijakan Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang menetapkan bahwa kelulusan didasarkan pada hasil UAN (Ujian Akhir Nasional). Mata pelajaran yang menjadi standar kelulusan terdiri dari Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Tentu saja ini tidak mencakup kompetensi kelulusan yang telah ditetapkan pada UU Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab V pasal 25. Karena UAN (Ujian Akhir Nasional) sendiri hanya bentuk evaluasi pelajaran dan merupakan cakupan dari pengetahuan peserta didik saja, tidak mencakup keterampilan dan sikap mereka.
Ketiga mata pelajaran ini tidak tepat untuk dijadikan sebagai representasi dari kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu selama tiga tahun di sekolah. Sudah menjadi hal yang umum, bahwa peserta didik memiliki minat dan kemampuan yang berbeda. Ada peserta didik yang tidak menguasai matematika, tapi ia menguasai biologi atau kimia atau yang lainnya. Ada juga peserta didik yang menguasai matematika, tapi tidak menguasai biologi atau kimia atau yang lainnya. Ini tentu merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi, menentukan kelulusan peserta didik hanya dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika adalah tidak tepat.
Dengan standar nilai sebesar 4,26 juga menimbulkan ketidakadilan bagi peserta didik. Sebagai ilustrasi, seorang peserta didik pertama mendapatkan nilai Bahasa Indonesia sebesar 8 dan Matematikanya 4, ini berarti ia tidak lulus. Peserta didik kedua mendapatkan nilai Bahasa Indonesia sebesar 5 dan Matematikanya sebesar 4,9 ini berarti ia lulus. Ketidakadilan ini tampak jelas, anak yang pertama mendapatkan rata-rata sebesar 6 tidak lulus sedangkan anak kedua yang mendapatkan rata-rata sebesar 4,95 dinyatakan lulus. Kondisi seperti ini sangat merugikan bagi para peserta didik.
Dalam UU Sisdiknas Bab XVI tentang Evaluasi, Akreditasi, Dan Sertifikasi bagian kesatu (Evaluasi) pasal 58 ayat (1) disebutkan: Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dari sini terlihat bahwa guru yang melakukan evaluasi terhadap hasil belajar peserta didik. Faktanya, pihak yang paling mengetahui kemampuan, keahlian, keterampilan, pengetahuan dan sikap para peserta didik adalah guru-guru yang mengajar dan membina mereka. Guru senantiasa bersama mereka, sehingga mengetahui kondisi peserta didik secara baik. Dan guru juga pasti mengetahui apakah peserta didik itu layak lulus atau tidak setelah ia menempuh proses pendidikan selama tiga tahun. Jadi, yang lebih layak dalam menentukan kelulusan peserta didik sebenarnya adalah guru.
Kondisi sarana dan prasana pendidikan yang ada di tiap sekolah merupakan faktor penting dalam proses pendidikan. Kondisi sarana dan prasana di tiap sekolah di Indonesia berbeda, kondisi ini akan menghasilkan kualitas pendidikan yang berbeda pula. Standar nilai kelulusan yang ditetapkan pemerintah sebesar 4,26 harus dikaji lebih dalam, apa yang menjadi dasar pemerintah menetapkan standar nilai ini dan apakah dapat menjadi representasi yang merata bagi tingkat kualitas pendidikan di seluruh Indonesia ?.
Standar nilai yang ditetapkan dapat bernilai baik jika pemerintah tidak mengabaikan kualitas sarana dan prasarana pendidikan di tiap tempat pendidikan di seluruh Indonesia. Diketahui bahwa banyak sekali sekolah di Indonesia yang sarana dan prasarana pendidikannya tidak bermutu dan tidak layak. Seharusnya pemenuhan sarana dan prasarana di tempat-tempat pendidikan dilakukan oleh pemerintah. Dalam UU Sisdiknas Bab XIII tentang pendanaan Pendidikan bagian kesatu (Tanggung Jawab Pendanaan) pasal 46 ayat (1) disebutkan: pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Yang terjadi selama ini pemerintah belum memenuhi tanggung jawabnya, sebaliknya yang terjadi adalah pemerintah melakukan kapitalisasi pendidikan, sehingga pendidikan menjadi mahal.
Oleh karena itu, standar kelulusan yang ditetapkan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional dengan hanya mengacu pada tiga mata pelajaran dan standar nilai sebesar 4,26 adalah tidak tepat. Hal ini disebabkan karena, pertama tiga mata pelajaran yang dijadikan acuan bukanlah representasi dari tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu selama tiga tahun; kedua sarana dan prasarana pendidikan tidak merata diseluruh Indonesia sehingga kualitas pendidikan pun akan berbeda, sehingga menetapkan standar nilai sebesar 4,26 adalah bentuk ketidakadilan, harus ada keseimbangan antara kualitas pendidikan yang dikehendaki pemerintah dengan pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di tempat pendidikan di seluruh Indonesia; ketiga pihak yang mengetahui akan kemampuan, keahlian, pengetahuan dari peserta didik adalah guru, sehingga yang lebih berhak menentukan kelulusan peserta didik adalah guru.
Buruknya sistem pendidikan Indonesia semakin nyata. Paradigma pendidikan yang sekular, biaya pendidikan yang mahal, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata, standar kelulusan yang tidak merepsentasikan tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu. Ini semua terjadi karena diterapkannya sistem Kapitalisme yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya.
Dalam pandangan Islam, pendidikan adalah salah satu bentuk pelayanan pemerintah kepada rakyatnya yang wajib dipenuhi. Penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat menjadi tanggung jawab pemerintah. Dengan kata lain, pendidikan adalah hak rakyat yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Rasulullah saw bersabda, “Seorang imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.”(HR al-Bukhari dan Muslim). Seorang penguasa dalam Islam berkewajiban memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya dan orang-orang yang digaji untuk mendidik. Sehingga akan tercipta pendidikan yang berkualitas dan gratis.
Agar lulusan pendidikan menghasilkan sumber daya manusia yang sesuai harapan, maka dibuat pendidikan terpadu. Sistem pendidikan harus memperhatikan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul. Ada tiga faktor: pertama sinergi antara sekolah, masyarakat, dan keluarga; kedua kurikulum yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat TK hingga Perguruan Tinggi; ketiga berorientasi pada pembentukan tsaqafah Islam, berkepribadian Islam dan penguasaan ilmu pengetahuan.
Terkait dengan kondisi pendidikan di Indonesia saat ini, maka KALAM UPI menyatakan bahwa:
1. Sistem pendidikan yang ada harus diganti dengan sistem pendidikan berlandaskan Islam.
2. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.
3. Pemerintah harus mengkaji ulang terhadap standar kelulusan yang diterapkan. Standar kelulusan ini harus adil dan mencakup kompetensi dalam Pengetahuan, Keterampilan dan Sikap dari peserta didik.
4. Pemerintah harus mencari langkah yang tepat dan adil bagi siswa yang tidak lulus UAN tahun 2006, karena semua ini terjadi akibat kesalahan sistem pendidikan Indonesia.
5. Komponen-komponen masyarakat seluruhnya harus mengawasi jalannya proses perbaikan ini.

PROBLEM PENDIDIKAN DI INDONESIA
Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan adalah konsep,gagasan,fikiran dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat dalamwaktu lamasehinggi menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa. Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Panca Sila,UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justeru tidak ada yang mengerjakan. Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih tepat berada di departemen pendidikan (depdikbud), karena pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara pendidikan anak usia dini (PAUD)dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada masyarakat local sebagai wujud pembentukan budaya local, kearifan local.

Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibn Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran. Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. What wrong?
2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan generasi ini?
Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini (masa orde Baru), meliputi:
[a] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[b] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[c] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
[d] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
[e] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp. 400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp. 4.000,-/anak/tahun.
[f] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[g] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
[h] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
[i] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:
1. Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
2. Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
3. Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
4. Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
5. Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
6. Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
7. Cendekiawan yang hipokrit,
8. Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
9. Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
10. Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.
Pendidikan pada Era reformasi
1. Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan soulusi
2. Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari system pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidakkompetetip hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah system pendidikan secara radikal juga punya problem,yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari system pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
3. Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah system pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba system di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru –yang digugu dan ditiru- seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya doctor dan professor bidang pendidikan tetapmengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan system pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balikmeja berpedoman kepada teori-teori Barat.. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
4. Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan.
5. Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
6. Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
7. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan Negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informaldan non formal. Pada satu titiknanti, gelar-gelar akademik juga tidaklagi relefan

No comments:

Post a Comment